jeng jeng.... beberapa waktu lalu ada sebuah tantangan tentang beasiswa dalam bentuk essay. essay dibawah hanyalah sebatas perspektif pribadi yang kebetulan seneng berorganisasi. tidak ada maksud me-marjin-kan spesies mahasiswa lain, sekali lagi ini perspektif pribadi dan tuntutan pra-sarat hehehe..
Menelisik
beberapa waktu kebelakang, peran serta instansi maupun perusahaan dalam menyokong
pendidikan dinilai mengalami perkembangan baik. Program – program yang
disajikan untuk kaum akademisi dunia kampus telah beragam. Salah satunya adalah
pengadaan bantuan beasiswa. Seperti yang kita ketahui, masalah klasik dalam
dunia pendidikan berujung pada aspek finansial ekonomi. Banyak potensi sumber
daya manusia yang terhambat akses untuk menempuh pendidikan dalam pembiayaan.
Tak sedikit dari mereka memutuskan berhenti meraih cita – cita dan berhenti membanggakan
orang tua karena faktor tersebut.
Beasiswa menjadi topik yang sering disentuh
mahasiswa, khususnya bagi mereka yang berprestasi dan atau kurang mampu.
Kelayakan
mahasiswa untuk menerima beasiswa lazimnya memiliki satu atau dua dari kategori
standar yang di adakan yaitu berprestasi dan kurang mampu. Tak jarang mahasiswa
berprestasi dibekali akses untuk memperoleh beasiswa. Meski pada kenyataanya
istilah kompetisi sering terjadi. Hal itu menyebabkan antusiasme tinggi untuk
mecapai bantuan, pun juga bagi kategori kurang mampu. Antusiasme tersebut tak
lebih didasari oleh ihwal latar belakang dari setiap mahasiswa. Manifestasinya,
dengan kata lain antusiasme tinggi terhadap dana bantuan kurang mampu
menggambarkan betapa banyaknya latar belakang “kekurangan ekonomi”. Entah ini
menjadi kabar baik atau tidak dari setiap pengadaan beasiswa.
Euforia
atmosir kampus, enggan senada dengan antusiasme pendaftar beasiswa. Hal ini
menjadi problema para aktifis organisasi kampus ketika pembicaraan berujung
pada eksistensi lembaga. Kehadiran kebijakan pemerintah mengenai UKT ditengah
paceklik ekonomi serta imbuhan kebijakan kuliah maksimal lima tahun sudah
barang tentu menyempitkan ruang gerak mahasiswa untuk berkarya. UKT meski
secara tersurat meringankan mahasiswa untuk membiayai kebutuhan tambahan
nyatanya hanya menjadi beban berat mengenai “harga” bangku kuliah. Ujungnya
adalah mahasiswa seakan dicetak sebagai pegawai bukan penghasil karya. Doktrin
ketika ospek untuk aktif berorganisasi seakan hanya menjadi sampul buku yang di
buang ketika sudah membaca di tengah halaman.
Penekanan
aktifis kampus sekali lagi berujung pada pola pikir mahasiswa yang dibentuk
kerena biaya kuliah. Singkatnya ketika biaya mahal mau tidak mau si subjek (mahaiswa)
harus cepat selesai kuliah. Nyali untuk berkarya di organisasi menciut.
Tumpukan arsip dalam kamar kosan tak lebih sebatas penunjang nilai akademik.
Nilai organisasi terbuang bahkan tak tersentuh karena perspektif “mahasiswa yang aktif dalam organisasi pasti
lama lulus”. Padahal perspektif
tersebut ditepis telak dengan realita track record para pemimpin bangsa ini. Seperti
kutipan pesan Anies Baswedan yang mengisyaratkan kampus adalah “kolam renang”
pada sambutanya terhadap mahasiswa baru:
“hidup pasca kuliah diibaratkan dengan
berenang di laut. Anda bisa memilih belajar berenang saat sudah di laut atau di
kolam renang ?”
Tentunya tak akan banyak resiko ketika belajar di kolam
renang. Belajar kepemimpinan, belajar membangun relasi, belajar menganalisa
masalah hanya didapati dalam organisasi saat kuliah. Kemampuan softskill
tersebut tidak dibahas secara detail hanya ketika duduk di bangku kuliah.
Perlu adanya
akses, fasilitas serta perubahan pandangan terhadap organisasi. Beasiswa yang
selama ini diperuntukan bagi mahasiswa dengan indeks prestasi tinggi dan kurang
mampu, memang sangat membantu untuk mahasiswa yang masuk kategori. Tapi perlu
adanya sebuah trobosan dan inisiasi yang sekaligus membantu masalah eksistensi
organisasi saat ini. Formulir pendaftaran dengan menyertakan Kolom “aktif dalam
organisasi” adalah bau wangi bagi para aktifis yang nyatanya jarang dilirik
beasiswa. Sekaligus menjadi salah satu solusi menumbuhkan animo mahasiswa untuk
aktif dalam organisasi. Ketika dihadapkan masalah mahasiswa dengan IPK biasa
sekaligus kurang mampu dalam hal ekonomi akankah dia tersentuh beasiswa ?.
memang IPK adalah tuntutan wajib bagi mahasiswa, tapi kategori khusus tersebut
nyatanya masih banyak populasinya di lingkungan kampus. Apakah solusinya mereka
tak usah kuliah ?
Di situlah
seharusnya peran yang dihadirkan para penyedia beasiswa. Memicu mahasiswa untuk terlibat dalam
organisasi. Memicu semangat untuk memimpin, menggali softskill, dan membangun
relasi. Bukan untuk mengiyakan dunia kampus hanya untuk mencetak sebatas
pegawai.
No comments:
Write comments