Friday, 28 November 2014

Perlu Dibaca : Pandangan Organisatoris Tentang Beasiswa

jeng jeng.... beberapa waktu lalu ada sebuah tantangan tentang beasiswa dalam bentuk essay. essay dibawah hanyalah sebatas perspektif pribadi yang kebetulan seneng berorganisasi. tidak ada maksud me-marjin-kan spesies mahasiswa lain, sekali lagi ini perspektif pribadi dan tuntutan pra-sarat hehehe..     


Menelisik beberapa waktu kebelakang, peran serta instansi maupun perusahaan dalam menyokong pendidikan dinilai mengalami perkembangan baik. Program – program yang disajikan untuk kaum akademisi dunia kampus telah beragam. Salah satunya adalah pengadaan bantuan beasiswa. Seperti yang kita ketahui, masalah klasik dalam dunia pendidikan berujung pada aspek finansial ekonomi. Banyak potensi sumber daya manusia yang terhambat akses untuk menempuh pendidikan dalam pembiayaan. Tak sedikit dari mereka memutuskan berhenti meraih cita – cita dan berhenti membanggakan orang tua karena faktor tersebut.

         Beasiswa menjadi topik yang sering disentuh mahasiswa, khususnya bagi mereka yang berprestasi dan atau kurang mampu.

     Kelayakan mahasiswa untuk menerima beasiswa lazimnya memiliki satu atau dua dari kategori standar yang di adakan yaitu berprestasi dan kurang mampu. Tak jarang mahasiswa berprestasi dibekali akses untuk memperoleh beasiswa. Meski pada kenyataanya istilah kompetisi sering terjadi. Hal itu menyebabkan antusiasme tinggi untuk mecapai bantuan, pun juga bagi kategori kurang mampu. Antusiasme tersebut tak lebih didasari oleh ihwal latar belakang dari setiap mahasiswa. Manifestasinya, dengan kata lain antusiasme tinggi terhadap dana bantuan kurang mampu menggambarkan betapa banyaknya latar belakang “kekurangan ekonomi”. Entah ini menjadi kabar baik atau tidak dari setiap pengadaan beasiswa.
        Euforia atmosir kampus, enggan senada dengan antusiasme pendaftar beasiswa. Hal ini menjadi problema para aktifis organisasi kampus ketika pembicaraan berujung pada eksistensi lembaga. Kehadiran kebijakan pemerintah mengenai UKT ditengah paceklik ekonomi serta imbuhan kebijakan kuliah maksimal lima tahun sudah barang tentu menyempitkan ruang gerak mahasiswa untuk berkarya. UKT meski secara tersurat meringankan mahasiswa untuk membiayai kebutuhan tambahan nyatanya hanya menjadi beban berat mengenai “harga” bangku kuliah. Ujungnya adalah mahasiswa seakan dicetak sebagai pegawai bukan penghasil karya. Doktrin ketika ospek untuk aktif berorganisasi seakan hanya menjadi sampul buku yang di buang ketika sudah membaca di tengah halaman.
       Penekanan aktifis kampus sekali lagi berujung pada pola pikir mahasiswa yang dibentuk kerena biaya kuliah. Singkatnya ketika biaya mahal mau tidak mau si subjek (mahaiswa) harus cepat selesai kuliah. Nyali untuk berkarya di organisasi menciut. Tumpukan arsip dalam kamar kosan tak lebih sebatas penunjang nilai akademik. Nilai organisasi terbuang bahkan tak tersentuh karena perspektif “mahasiswa yang aktif dalam organisasi pasti lama lulus”.  Padahal perspektif tersebut ditepis telak dengan realita track record para pemimpin bangsa ini. Seperti kutipan pesan Anies Baswedan yang mengisyaratkan kampus adalah “kolam renang” pada sambutanya terhadap mahasiswa baru:

         “hidup pasca kuliah diibaratkan dengan berenang di laut. Anda bisa memilih belajar berenang saat sudah di laut atau di kolam renang ?”

Tentunya tak akan banyak resiko ketika belajar di kolam renang. Belajar kepemimpinan, belajar membangun relasi, belajar menganalisa masalah hanya didapati dalam organisasi saat kuliah. Kemampuan softskill tersebut tidak dibahas secara detail hanya ketika duduk di bangku kuliah.
  Perlu adanya akses, fasilitas serta perubahan pandangan terhadap organisasi. Beasiswa yang selama ini diperuntukan bagi mahasiswa dengan indeks prestasi tinggi dan kurang mampu, memang sangat membantu untuk mahasiswa yang masuk kategori. Tapi perlu adanya sebuah trobosan dan inisiasi yang sekaligus membantu masalah eksistensi organisasi saat ini. Formulir pendaftaran dengan menyertakan Kolom “aktif dalam organisasi” adalah bau wangi bagi para aktifis yang nyatanya jarang dilirik beasiswa. Sekaligus menjadi salah satu solusi menumbuhkan animo mahasiswa untuk aktif dalam organisasi. Ketika dihadapkan masalah mahasiswa dengan IPK biasa sekaligus kurang mampu dalam hal ekonomi akankah dia tersentuh beasiswa ?. memang IPK adalah tuntutan wajib bagi mahasiswa, tapi kategori khusus tersebut nyatanya masih banyak populasinya di lingkungan kampus. Apakah solusinya mereka tak usah kuliah ?

   Di situlah seharusnya peran yang dihadirkan para penyedia beasiswa.  Memicu mahasiswa untuk terlibat dalam organisasi. Memicu semangat untuk memimpin, menggali softskill, dan membangun relasi. Bukan untuk mengiyakan dunia kampus hanya untuk mencetak sebatas pegawai.  

    Choose :
  • OR
  • To comment
No comments:
Write comments