Soma kembali menghitung jumlah bintang lewat jendela kamarnya. Di tempelkannya ke dua lengan ke kusen jati. Hangat sunset pagi masih membekas diserap daun jendela. Hitungan yang tak pernah berakhir, selalu diawali dari sisi kiri gugus layang-layang. Setidaknya begitu yang ayahnya ajarkan, bila tersesat pastikan gugus layang-layang adalah arah selatanmu.
Entah mengapa selepas isya ia lebih memilih menghitung
bintang dari pada merasakan nyamamnya pelukan selimut dan dekapan kasur
springbed harga jutaan. Jelas soma berbeda dengan kebanyakan teman seusianya. Disaat
gemerlap harta turunan keluarga membutakan kreativitas, soma justru segan untuk
menikmati, atau bahkan membanggakan nama besar keluarganya untuk kepentingan
sosial lain.
Mungkin karena pasca kejadian Ayahnya meninggal akibat baku
tusuk dengan perampok saat pariwisata di pantai karangbolong cilacap. Perampok yang
baru sehari dikabarkan kabur dari penjara –yang katanya paling ketat di
indonesia- nusa kambangan. Entah bagaimana yang dipikirkan perampok kebanyakan.
Merampas segala hal dari orang yang tak dikenali, mereka tidak memikirkan siapa
dan seberapa besar manfaat sosial dari orang yang dirampok. Ah sudahlah, hal
seperti ini yang membuat soma tidak bersemangat ketika diingat-ingat.
Soma tidak bisa dideskripsikan secara rijit. Ia terlalu
sulit untuk ditebak. Bahkan oleh ibunya sendiri. Ya bisa jadi memang karena
ibunya belum sempat memikirkan bagaimana karakter sebenarnya dari anak
bungsunya itu. Keadaan di kantor asuransi miliknya, tetap memaksa ibu soma
untuk tak sedikitpun tak memperhatikan progres marketing perusahaan. Akhir-akhir
ini memang asuransi bukan menjadi primadona dalam dunia bisnis. Bahkan ketika
perusahaan yang sudah berjalan 15 tahun ini dibantu tenaga muda kreativ putri
sulungnya, Keket.
Tidaklah begitu besar hasrat soma untuk menikmati jerih
payah kedua orang tuanya. Ia lebih memilih menghitung bintang lewat jendela
kamarnya. Sambil bergumam heran dalam hati
“sejak kapan ada bintang biru bergerak mendekat ?”
No comments:
Write comments