Beberapa minggu ini Andang merasa
gundah. Istrinya di rumah semakin sering mencurahkan isi hati dengan irama
melankolis. Bukan lagi perihal buah hati yang tak kunjung menetap di rahim sang
istri, bukan pula soal piutang orang tua sang istri yang menjadi alasan Andang
mempredikatkan dirinya sebagai TKI. Hanya saja dua alasan itu yang -memuncul
dan tumbuhkan obrolan pasar para ibu – ibu tentang alasan pelarian Andang ke
negeri jiran. Di kampung istrinya, tempat tinggal pasutri ini semakin mencuat
kabar angin tentang “perselingkuhan” Andang di negeri jiran.
Toh alasan apalagi yang masuk
akal bagi Andang untuk menjauh dari Istri dan keluarganya? Begitulah anti
klimaks disetiap obrolan pasar.
Andang bukanlah pria setengah
matang, yang merespon segala kabar negatif tentang dirinya dengan panas
mendidih. Lebih dari itu, ada rasa yang tidak bisa ia singkirkan. Rasa bersalah
pada sang Istri karena tidak cukup meyakinkan bahwa ia bekerja sebagai TKI
murni berlatar belakang menutupi segala lobang finansial keluarga kecilnya.
Rasa bersalah karena membiarkan istrinya teraniyaya hatinya. Atau mungkin kata
orang – orang yang Andang temui, Tahun pernikahan ke Lima adalah tahunnya
cobaan antri masuk di sendi – sendi pondasi
rumah tangga.
Sewaktu dulu, Andang telah
sepakat dengan dirinya bahwa ada rasa yang tak bisa ditinggalkan, atau bahkan
sekedar dilupakan saat terlelap di ranjang mes. Ya, rasa bersalah adalah salah
satunya. Tak masalah menurutnya jika bulan depan, tepat 8 bulan bekerja di
perantauan ia memutuskan untuk resign dan mengobati penyakit hati yang diderita
istrinya. Toh pula piutang sang mertua ia niatkan dilunasi dengan usaha kecil –
kecilan di rumah esok.
Segera ia layangkan kabar rencana
ini pada istrinya.
“tidak mas, jangan kau niatkan
rencanamu itu. Tunggulah beberapa waktu lagi”
“Saya tidak bisa seperti ini
terus de, biarkan mas pulang sekedar menguatkan pondasi rumah tangga kita” Kata
Andang meyakinkan lewat telepon genggamnya.
“Percaya dengan ade mas” jawab
sang istri. “Aku di sini masih baik saja, fokuslah dengan pekerjaan mas di sana”
tambahnya untuk meyakinkan.
Tidaklah mudah bagi Andang
mengurungkan niatnya kembali menetap. Tapi beberapa obrolan selanjutnya dengan
sang istri sedikit meyakinkan dia untuk menetap paling tidak untuk 4 bulan ke
depan.
Dan tentu saja, perubahan rencana
ini disambut sang istri dengan baik.
Ucapan memang senjata mematikan.
Senjata akan sangat berguna entah untuk niat buruk maupun baik. Tentunya sang
empunya senjata perlu berlatih mengenakan, bukan sekedar membabi buta sasaran
tanpa sadar resikonya. Ah, pelajaran yang sangat berharga bagi Andang. Mungkin keberuntungan
ketika cobaan seperti ini mampir diusia pernikahannya yang sekarang. Pikirnya
masalah ini adalah semen – semen tambahan untuk mengukuhkan.
**
Sebulan berlalu, sangat terasa
bagaimana perbedaan pasca runding kepulangannya. Istrinya tak lagi berkeluh
mengenai krikil – krikil yang sempat mengganggu. Andang lega. Lagipula bulan
ini Andang memperoleh bonus dari laba tempatnya bekerja. Sangat cukup untuk menutup
piutang sang mertua. Tapi seminggu ke depan tepatnya 14 Desember, adalah tepat
ulang tahun pernikahannya. Seketika ia teringat, sering bahwa sewaktu masih
bersama di Kampung, Istrinya menyatakan soal sisi “romantisme” yang tak pernah
ditemukan pada Andang.
Hahahaha. Andang tertawa dalam
hati. Khusus bulan ini Andang sedikit memberi kejutan. Uang bulan ini tak
berniat ia kirim lewat rekening seperti biasanya, melainkan akan ia kirim
bersama dengan kedatangannya untuk pulang. Tentu ini akan romantis,
menyenangkan sang Istri tentunya pikir Andang.
23.30 pada 13 Desember
Andang turun dari bus jurusan
kota. Tanpa perlu menghampiri pangkalan,
satu ojek mulai mendekat ke tempat ia berdiri. Barang tentu, Andang dikenal ia
pula dulu tukang ojek. Tanpa panjang lebar bergegaslah mereka ke tujuan sembari
ditemani dengan obrolan tukang dan mantan tukang ojek.
Sesampainya di depan gang, tepat
diujungnya adalah rumah Andang dan Istrinya. Andang memutuskan untuk berjalan
selanjutnya. Toh paling sekitar 30 meter rumahnya bisa ia jumpai. Terlebih suara
motor pasti mengganggu jam istirahat tetangganya. Padahal memang ada beberapa
atau sepenuhnya obrolan tadi bersama tukang ojek membuat hatinya resah.
Lebih resah ketika tepat di depan
rumahnya, terlihat beberapa ruangan rumahnya masih diterangi cahaya neon. Waktu
semalam ini istrinya belum tidur?
Berbekal keresahan, Andang
mengendap lewat samping rumah. Menghidari tumpukan material sisa pembangunan
rumahnya dulu, barangkali ketika terinjak malah mengagetkan yang lain. Langkahnya
terhenti pada jendela ruang televisi, ini salah satu ruangan yang masih terterangi.
Pendengarannya ia sensitifkan. Belum
sempat ia menengok lewat jendela, terdengar suara istrinya berbicara dengan seseorang..
“Kamu lanjut nginep aja di
sini....
“masa tega liat ade kesepiaan....
No comments:
Write comments