Tulisan ini saya buat berdasarkan pembacaan pribadi mengenai
kultur yang sendang tumbuh subur di kehidupan mahasiswa. Perbedaan kultur
orientasi telah lama mengakar pada identitas individu setiap mahasiswa. Tak
sedikit dari mereka membenarkan prinsip yang mereka jalani. Diantara orientasi
yang menjamur di kehidupan kampus, mampulah kita membagi menjadi dua poros
dominan yaitu akademik oriented dan
organisasi oriented. Bukan berarti
semua mahasiswa tergabung dalam salah satu corak tersebut, orientasi lain juga
kerap membentuk formasi sosial (abstrak/ hal umum) dalam kehidupan kampus.
Dalam tulisan ini saya hanya akan membahas secara dalam ke dua orientasi
dominan yang telah tersebutkan.
Dewasa ini beberapa kawan yang berorientasi kepada
eksistensi organisasi, sering mengeluhkan beberapa pokok permasalahan dalam
membangun tujuan organisasi. Teruntuk topik generasi penerus (kader) menjadi
momok yang tak pernah selesai untuk dibahas. Faktor internal dari dalam
keorganisasian (pengurus dan anggota) seakan menjadi titik permasalahan. Entah
niat analisa yang dilakukan seperti itu (melihat satu faktor) atau memang tidak
menyadari faktor eksternal yang mulai meng-intervensi secara rapi.
Sudah terlalu banyak perdebatan yang seakan mewakili suara
dari pihak anggota dan pengurus organisasi. Di satu sisi anggota mempertanyakan
lemahnya eksistensi organisasi dimotori oleh pihak pengurus, begitupun
sebaliknya pengurus merasa semua hal yang menjadi tanggung jawab telah di
konversikan menjadi fasilitas untuk anggota. Hal ini seakan menjadi kontradiksi
tak berujung. Seperti halnya logika telur-ayam. Mana yang didahulukan ?
Topik semacam ini memang sangat cocok untuk bahan diskusi
bagi orang orang yang aktif dalam organisasi, tapi akankah sama jadinya apabila
diskusi tersebut seasik dengan solusi yang dihasilkan.
Bergeser dari faktor internal, mahasiswa tidak menyadari
bahwa kebijkan kebijakan yang mulai diterapkan juga turut memberi dampak pada
corak orientasi mahasiswa sekarang. Sebut saja kebijakan UKT yang menekan biaya
pendidikan disamaratakan setiap semesternya. Hal ini tentunya akan banyak
merubah orientasi mahasiswa khususnya yang memang ikut terlibat dalam
pergerakan organisasi. UKT secara perlahan merubah mindset ketertarikan
mahasiswa untuk fokus terhadap jenjang kuliah yang cepat. Logikanya adalah
semakin lama menempuh karir di bangku kuliah maka biaya yang dikeluarkan akan
semakin mahal. Berbeda dengan mahasiswa yang tidak merasakan dampak langsung
UKT, secara biaya yang harus dibayar pun akan mengalami penurunan nominal ketika
memasuki semester berikutnya. Ada atau tidaknya tekanan (biaya) sangat
signifikan merubah pola pikir mahasiswa.
1 comment:
Write commentsBetul gan, Kuliah mahal musti cepet lulus tapi bingung juga kalo sekedar lulus
ReplyDelete