Saturday, 1 September 2012

Cerpen : Aku Bukan Maling


Rintik hujan masih enggan pergi sore itu. Genangan becek seakan menjadi karpet merah bagi para pengemis jalanan. Sampah plastik juga berduet dengan bau menyengat menghasilkan karya yang tak sedap, seakan panggung ini adalah komplek bantar gerbang.


Berpaling dari kekumuhan pasar, setidaknya ada bangunan berkonotasikan rumah Allah berpelataran agak luas. Di dalamnya terdapat bangunan kecil tepat di pinggir gerbang. Pagar hidup yang tersusun dari  pedagang pasar dan beberapa pemuda bertato seakan tak memperbolehkan penghuni bangunan tersebut melihat dunia luar. Bermacam cacian bak paduan suara yang di komandoi oleh dirijen ternama. Nampak tiga sosok pria terkurung didalam pos. Seorang yang berseragam hitam putih kewalahan menenangkan emosi warga, seorang lagi pria paruh baya dengan baju basah kuyup-nya masih merangkul dan mencoba melindungi pemuda ke-3 yang nampak tak berdaya dengan tambahan aksesoris hasil bogem mentah di hampir seluruh wajahnya.

Siang itu Amad masih menunggu gerobak sotonya dikunjungi pembeli. Sedari pagi dirinya dan mang Karto baru melayani 3 mangkok pemesanan, itupun hanya 2 bayaran yang ia terima, lantaran 1 mangkok gagal tersaji untuk pembeli.

‘’uis lah gah, ora usah dipikiri yen rejeki kie ora lunga adoh’’ hibur mang Karto, yang melihat kemurungan partner jualanya.

Mang Karto adalah kerabat dekat almarhum Kisun-ayah Amad. Amad sudah menganggap pria berkopiah putih ini keluarganya sendiri. Sejuta nasehat-nya telah mendidik Amad hingga saat ini. Amad pun tak segan berkeluh kesah masalah keluarganya pada sosok berjenggot lebat ini. Keluarga Amad sendiri jauh dari kemapanan. Ibunya lebih memilih menjadi buruh cuci keliling guna mencukupi kebutuhan Amad dan adiknya Syifa. Syifa adalah satu satunya adik Amad. Amad rela memutuskan sekolahnya demi santapan pendidikan Syifa terpenuhi yang kerap menambah beban anggaran pendidikan yang mencekik.

Satu tahun cukup buat Amad untuk terbuiasa dengan kehidupan pasar bersama mang Karto, begitupun dengan kehilangan sosok pemimimpin keluarga. Ayahnya meninggal lantaran dituduh mencuri di salah satu rumah aparat desa. Tuduhan pencurian telah mengantarkanya pada amuk brutal masa. Usia lanjutnya pun tak mampu menahan sederet luka di sekujur tubuhnya. Hingga akhrinya mandat Allah pada izroil terlaksana.

“apakah status miskin sangat berpengaruh di masyarakat ?” pertanyaan itulah yang selalu ada di pikirannya. Selalu dan selalu.

***

“mad, grimis kie pada neduh yuh sekalian solat ashar” ajakan mang Karto membangunkan Amad dari lamunannya.

“ayuh mang “ jawab Amad tegas.

Dihalaman masjid yang mulai tergenangi air hujan nampak berderet mobil mewah membentuk barisan rapih. Tak heran kemewahan mobil dihiasi ‘Plat merah’ menunjukan jelas ini adalah mobil camat tinggi. Dari luar 
nampak kerumunan di dalam masjid berkubah hijau zamrud ini.

“ah, paling paling ada acara syukuran pak camat” gumam Amad dalam hati.

Amad sengaja menata gerobaknya sejejer mobil ber-‘plat merah’ tersebut. Sehingga terbentuklah pemandangan yang sangat kontras. Mang Karto yang sudah paham sifat Amad hanya cengar cengir melihatnya.

Dalam koridor menuju tempat wudlu, Amad melihat tas kulit berwarna coklat tergeletak di pojokan. Rasa heran melanda karena tas sebagus ini tergeletak begitu saja. Kemudian diambilnya untuk ditunjukan ke mang 
Karto.

‘tas siapa ini mang ?’ tanya Amad heran.

‘ora ngerti aku ‘ jawab mang Karto ‘uis di dokon bae, paling dekene bojone para camat’

‘iya tapi bagus banget mang, aku pengen ngasih tas kaya kie nggo ibu’ lanjut Amad seakan tak mendengarkan saran mang Karto.

Usai solat ashar, Amad merebahkan tubuhnya disalat satu tiang berbalut marmer si dalam masjid. Mang Karto sendiri kembali ke halaman masjid sekedar mengecek gerobak baksonya, takutnya menghalangi jalan mobil para camat tadi.

Terdengar suara riuh segerombolan masa dari pelataran. Amad tak begitu jelas mendengarnya, rasa letih lebih mendoinasi kinerja syarafnya.

Tiba tiba cengkraman kuat menginterupsi istirahatnya. Rasa kantuk pun sekejap hilang.

Amad yang mulai sadar di bopong sejumlah orang tak dikenal keluar masjid. Tubuhnya terasa alot untuk digerakan. Setidaknya ada empat pasang tangan menahanya. Dalam kebingungan ia mendengar sorakan dari pelataran masjid.

Hajar saja !

Bunuh sekalian !

Dasar maling !

Maling ? lelucon macam apa ini ? Amad mencoba berbicara yang tentunya tak membuat keadaan membaik. 
Malah lebih buruk.

Brugg !!

Tubuh Amad terbanting. Mendarat persis  di halaman masjid yang penuh genangan air.  Sesaat ia membuka mata, lingkaran manusia sudah mengepung tak bercelah. Amad mendapati salah satu camat turut berbaur dengan amuk masa, disampingnya berupa sosok ibu dengan make up khas isteri pejabat.
Amad mencoba berdiri diantaranya.

‘ada apa in...’

Dugg, pukulan telak di pelipis Amad menyela perkataanya. Tanpa sela, dilanjut dengan satu pukulan lagi di perutnya. Uuhhgg Rasa sakit yang belum pernah Amad rasakan sebelumnya. Lebih sakit dari pukulan almarhum ayahnya yang menangkap basah Amad mengambil uang ibunya saat SMP.

‘akkuu sallahh app..

Kembali Amad mendapat pukulan balok kayu di keningnya. Bagian wajah disaat kecil Amad yang setiap malam diusap ibunya dengan penuh kasih sayang untuk pertama kalinya mengalirkan cairan merah kental. 
Matanya masih tertuju pada sosok camat yang terus menerus mencacinya. Ahh salah apalagi orang miskin kali ini ???

Pesta salah paham ini diakhiri dengan sumbangan bogem mentah dari setiap warga. Menjatuhkan Amad telak di genangan air halaman masjid. Tubuh Amad sudah tak berdaya istirahat sorenya berahkir dengan perkenalanya bersama tinju amatir. ‘Ya Allah aku bukan maling’ dalam hatinya Amad mengadu pada tuhannya.

Dua sosok menghampiri pemuda tak bersalah ini sesaat sebelum kesadarannya hilang.

***

Benang kesadaran Amad mulai tersambung. Mang Karto masih duduk disisi kiri Amad, merangkulnya. Di luar pos terlihat barisan warga rangkap dua berkumpul dengan amarahnya. Nampak pula sang camat mengintip dari jendela pos.

‘mohon tenang dulu, biarkan pemuda ini mendapatkan hak nya untuk bicara ‘ berkali pak satpam mencoba menengahi keributan.

‘aku weruh dewek cah kue njimot tase  !’ jelas seorang saksi, yang nampak seperti preman dengan tato hampir memenuhi lengannya.

‘ya bener, cah kue juga ngomong kepingin duwe tase loh,  jal !’ tambah seorang lagi dari dalam kerumunan, memastikan legalitas dakwaan.

Pak satpam yang berdiri di muka pintu berbalik menghadap Amad, menunduk dan menatap mata sayu Amad.

‘apa yang dikatakanya itu benar ?’ jelas pak satpam tak mengharap jawaban iya. Ia pecaya pemuda dengan dua tanda hitam dikeningnya itu adalah pemuda baik baik.

‘ii...yya... aku emang inginn tass itu..’ jawab Amad jujur.

‘kue jelas kan ??!! wis ngaku dewek kan !!’ tandas sang preman yang berdiri paling depan.

Amad mencoba berdiri dengan susah payah, mang Karto menyangganya dari samping. Rasa sakit masih merajai tubuh Amad. Darah dari keningnya yang mengalir melintasi mulutnya mulai mengering, membuat susah berbicara.

‘aku inginkan tas itu, tapi... aku tak sehina para pencuri’ kata Amad terbata.

‘lagipula.. apakah..... kalian lihat akku membawannya ? tanya Amad sambil menatap para saksi.

‘TIDAKK !! aku tak pernah mengambil barang yang memang bukan hakku.. karna dalam ajaran agama ku, tak pernah sekalipun Allah meridhoi harta hasil mencuri..’

Semua terdiam, seakan hanya Amad sendiri di dalam pos.

Amad mendongakan kepalanya. Air matanya berlinang menghapus sebagian sisa daranya yang mengering ‘dan keluarga... keluargaku.... tak pernah Ayahku mengajarkan anak-anaknya mencuri, dia lebih memilih mati kelaparan dari pada makan harta curian.’ Kemudian memejamkan matanya seraya berbisik ‘Dia adalah sosok yang baik dan aku menyayanginya.’

Pandangan Amad tertuju pada jendela kecil, menatap  sang camat. ‘aku memang sekedar tukang bakso,dan miskin... tapi agamaku, keluargaku tak pernah mengajariku untuk keburukan. Bahkan mereka senantiasa membuatku terus bertahan dalam kebaikan ! dan satu hal yang perlu kalian tahu....Aku bukan maling !’

Dentuman hebat mendera hati sang camat. Cukup membuktikan bahwa pemuda ini tak bersalah. 
Kala itu juga linang  air mata bangga mengalir dari sudut mata mang Karto pada putra almarhum kawanya itu.

    Choose :
  • OR
  • To comment
No comments:
Write comments