Thursday 1 December 2016

CERBUNG : BAGIAN 4 (OBROLAN PASAR)

 

Beberapa minggu ini Andang merasa gundah. Istrinya di rumah semakin sering mencurahkan isi hati dengan irama melankolis. Bukan lagi perihal buah hati yang tak kunjung menetap di rahim sang istri, bukan pula soal piutang orang tua sang istri yang menjadi alasan Andang mempredikatkan dirinya sebagai TKI. Hanya saja dua alasan itu yang -memuncul dan tumbuhkan obrolan pasar para ibu – ibu tentang alasan pelarian Andang ke negeri jiran. Di kampung istrinya, tempat tinggal pasutri ini semakin mencuat kabar angin tentang “perselingkuhan” Andang di negeri jiran.

Toh alasan apalagi yang masuk akal bagi Andang untuk menjauh dari Istri dan keluarganya? Begitulah anti klimaks disetiap obrolan pasar.

Andang bukanlah pria setengah matang, yang merespon segala kabar negatif tentang dirinya dengan panas mendidih. Lebih dari itu, ada rasa yang tidak bisa ia singkirkan. Rasa bersalah pada sang Istri karena tidak cukup meyakinkan bahwa ia bekerja sebagai TKI murni berlatar belakang menutupi segala lobang finansial keluarga kecilnya. Rasa bersalah karena membiarkan istrinya teraniyaya hatinya. Atau mungkin kata orang – orang yang Andang temui, Tahun pernikahan ke Lima adalah tahunnya cobaan antri masuk di sendi – sendi pondasi rumah tangga.

Sewaktu dulu, Andang telah sepakat dengan dirinya bahwa ada rasa yang tak bisa ditinggalkan, atau bahkan sekedar dilupakan saat terlelap di ranjang mes. Ya, rasa bersalah adalah salah satunya. Tak masalah menurutnya jika bulan depan, tepat 8 bulan bekerja di perantauan ia memutuskan untuk resign dan mengobati penyakit hati yang diderita istrinya. Toh pula piutang sang mertua ia niatkan dilunasi dengan usaha kecil – kecilan di rumah esok.

Segera ia layangkan kabar rencana ini pada istrinya.

“tidak mas, jangan kau niatkan rencanamu itu. Tunggulah beberapa waktu lagi”

“Saya tidak bisa seperti ini terus de, biarkan mas pulang sekedar menguatkan pondasi rumah tangga kita” Kata Andang meyakinkan lewat telepon genggamnya.

“Percaya dengan ade mas” jawab sang istri. “Aku di sini masih baik saja, fokuslah dengan pekerjaan mas di sana” tambahnya untuk meyakinkan.

Tidaklah mudah bagi Andang mengurungkan niatnya kembali menetap. Tapi beberapa obrolan selanjutnya dengan sang istri sedikit meyakinkan dia untuk menetap paling tidak untuk 4 bulan ke depan.

Dan tentu saja, perubahan rencana ini disambut sang istri dengan baik.

Ucapan memang senjata mematikan. Senjata akan sangat berguna entah untuk niat buruk maupun baik. Tentunya sang empunya senjata perlu berlatih mengenakan, bukan sekedar membabi buta sasaran tanpa sadar resikonya. Ah, pelajaran yang sangat berharga bagi Andang. Mungkin keberuntungan ketika cobaan seperti ini mampir diusia pernikahannya yang sekarang. Pikirnya masalah ini adalah semen – semen tambahan untuk mengukuhkan.

**

Sebulan berlalu, sangat terasa bagaimana perbedaan pasca runding kepulangannya. Istrinya tak lagi berkeluh mengenai krikil – krikil yang sempat mengganggu. Andang lega. Lagipula bulan ini Andang memperoleh bonus dari laba tempatnya bekerja. Sangat cukup untuk menutup piutang sang mertua. Tapi seminggu ke depan tepatnya 14 Desember, adalah tepat ulang tahun pernikahannya. Seketika ia teringat, sering bahwa sewaktu masih bersama di Kampung, Istrinya menyatakan soal sisi “romantisme” yang tak pernah ditemukan pada Andang.

Hahahaha. Andang tertawa dalam hati. Khusus bulan ini Andang sedikit memberi kejutan. Uang bulan ini tak berniat ia kirim lewat rekening seperti biasanya, melainkan akan ia kirim bersama dengan kedatangannya untuk pulang. Tentu ini akan romantis, menyenangkan sang Istri tentunya pikir Andang.

23.30 pada 13 Desember

Andang turun dari bus jurusan kota.  Tanpa perlu menghampiri pangkalan, satu ojek mulai mendekat ke tempat ia berdiri. Barang tentu, Andang dikenal ia pula dulu tukang ojek. Tanpa panjang lebar bergegaslah mereka ke tujuan sembari ditemani dengan obrolan tukang dan mantan tukang ojek.

Sesampainya di depan gang, tepat diujungnya adalah rumah Andang dan Istrinya. Andang memutuskan untuk berjalan selanjutnya. Toh paling sekitar 30 meter rumahnya bisa ia jumpai. Terlebih suara motor pasti mengganggu jam istirahat tetangganya. Padahal memang ada beberapa atau sepenuhnya obrolan tadi bersama tukang ojek membuat hatinya resah.

Lebih resah ketika tepat di depan rumahnya, terlihat beberapa ruangan rumahnya masih diterangi cahaya neon. Waktu semalam ini istrinya belum tidur?

Berbekal keresahan, Andang mengendap lewat samping rumah. Menghidari tumpukan material sisa pembangunan rumahnya dulu, barangkali ketika terinjak malah mengagetkan yang lain. Langkahnya terhenti pada jendela ruang televisi, ini salah satu ruangan yang masih terterangi.

Pendengarannya ia sensitifkan. Belum sempat ia menengok lewat jendela, terdengar suara istrinya berbicara dengan seseorang..

“Kamu lanjut nginep aja di sini....
“masa tega liat ade kesepiaan....




    Choose :
  • OR
  • To comment
No comments:
Write comments