Thursday 27 October 2016

Cerpen : Mimpi Pak Tani

 

Terik matahari siang itu membumbui keringat Badar yang nampak deras melengaskan seragam petani harianya. Rantang bekalnya telah bersih 60 menit yang lalu saat ia bersimpuh letih oleh ayunan cangkulnya sejak pagi buta. Hingga kini suplemen cinta dari Marni istrinya yang tertuang dalam sarapanya perlahan mengikis layaknya tabungan rumah tangganya akhir ini. Tak seperti biasa hari itu tenaga Badar seakan terkuras lebih cepat dibanding hari biasa. Mungkin karena cuaca bulan ini memasuki musim kemarau, mungkin faktor usianya yang tak lagi muda atau mungkin karena porsi konsumsinya berkurang dari biasa, atau mungkin ketiganya. Badar berhenti sejenak menenangkan cangkulnya ditengah petakan sawah. Pikiranya meluas, dibenaknya mengadu kuat betapa kejamnya hidup ini. Harga sembako yang kian menyiksa, garapan sawahnya yang menurun nyaman karena meningkatnya keinginan para juragan desa memilih mesin modern ketimbang harga keringatnya dan terlebih anak perempuanya Mila yang mulai beranjak masuk semester baru. Ah andaikan sejahtera itu tidak bertolak ukurkan pada uang pikirnya.

Setiap pulang dari dinasnya, Badar selalu disuguhkan dengan segelas teh pahit buatan Marni. Katanya itu manjur memulihkan energi bapak yang bekerja seharian di sawah.

“bu, sekali kali ya teh ini manis toh. Bosen Aku pait terus” celetuk Badar suatu sore.
“sampeyan iki wis tua pak, kena diabetes lho” tampik Marni yang sedari tadi belum merampungkan titipan cucian tetangga.

Kalimat itu yang tak jarang Badar ucapkan pada istrinya, meskipun ia tau diri bahwa gajinya sebagai buruh tani pun masih kurang untuk dibilang mencukupi kebutuhan sehari hari. 

Di waktu malam Badar banyak menghabiskan waktu istirahatnya untuk mengasah peruntungan dengan memancing di sungai kampungnya. Berbekal umpan cacing yang ia peroleh dari pelepah pohon pisang yang membusuk ia menjajaki setiap kedung sungai. Barangkali nasibnya lagi mujur malam ini, ia bergegas mengaitkan umpanya pada kail pancing. Tak butuh waktu lama kailnyha untuk dilahap mahluk air. Rupanya sumringah tak biasanya umpan yang ia pasang disambar ikan dengan sekuat ini. Duel antara petani berkumis tebal ini berlangsung lumayan lama, sekiranya titik peluh Badar mulai mengalir barulah pancinganya mampu perlahan ia angkat.

“ASTAGFIRULLAHHH...”

***
Adzan subuh membangunkan Badar dari tidur nyenyaknya. Dirasa kepalanya pening yang tak biasa, tanganya memijat sembari menahan rasa sakit yang luar biasa. Marni yang dari tadi memperhatikan perilAku suaminya mulai khawatir.

“kenapa toh pak ? Aku ambilin minum ya..” bergegas istrinya beranjak kedapur. Membawakan Badar segelas air putih yang ia tuang dari kendi tampungan air.                     
“minum pak airnya..” disodorkanya pada Badar. “Istigfar pak, ono opo toh pak ?”

Selesai minum, Badar mencoba menenangkan diri. Peningnya perlahan reda.

“Aku mimpi aneh bu... ketemu izroil bu...” Badar mengleha nafas sejenak “pertanda apa iki bu ? wong Aku ya masih kepengin urip”
“kui kan Cuma mimpi pak, ya bapak biasakan baca doa sebelum tidur “ Marni memperhatikan suaminya yang nampak was was selepas cerita mimpi tadi.
“solat subuh dulu pak, sudah masuk adzan..”


Seperti biasa Badar menyiapkan peralatan mencangkulnya pagi itu namun dengan perasaan yang sedikit was was. Petani berperawakan kurus itu menghabiskan teh paitnya sebelum beranjak pergi. Ditentengnya bekal sarapan sekaligus makan siangnya menuju ladang nafkah.

Kali ini Badar tidak sendiri. Ada Marno yang mulai menyebar benih padi di petak seberang yang sudah terlebih dulu Badar garap 3 hari lalu.

“pagi pagi kok wis loyo dar ?” ucap Marno pada rekan kerjanya hari itu.
“gak enak badan mas, kecapean kayanya” jawab Badar
“lah malam kan sudah istirahat dar, biasanya kan gitu” ucap Marno tanpa mengalihkan tanganya  penyebaran bibit padi.
“Aku mimpi buruk mas” terang Badar pada lelaki berkulit coklat kemerahan yang sejatinya sudah ia anggap sebagai kang masnya sendiri.

Belum ssetengah dari garapanya Badar berhenti. Ia sempatkan matanya mendongak ke atas seakan mempertanyakan apakah batas langit itu benar akherat adanya ? tempat ruh yang nantinya terpisah dari jasadnya. Atau mungkin ada dunia lain yang lebih kejam dari bumi ? yang memaksa penghuninya bekerja satu hari satu malam tanpa istirahat ?. atau mungkin lagi dunia yang lebih menyenangkan ?

Pengandaian seperti inilah yang kerap dilAkukan Badar ketika ia mulai membandingkan hidup kejam yang ia jalani dengan para juragan desa atau bahkan politisi penghuni hotel bintang lima. 

“heh dar, koe nglamunke apa ?” tegur Marno 
“ya hidup itu buat dijalani toh dar, kalo Kamu membanding bandingkan hidupmu terus dengan yang diatasmu ya gak bakal beersyukur apa adanya Kamu sekarang”

Badar menengok kearah petani yang hidup keluarganya tak jauh beda dari dirinya sekarang.

“kalo Kamu terus sibuk membandingkan tanpa mensyukuri yang sudah ada, yang ada cuma penyesalan dar” Marno mencoba menasehati “kematian itu datang kapan saja dar, tanpa rencana. Apa pengin ia datang saat Kamu masih belum bisa bersyukur atas rahmat Gusti Allah ?”


Badar tercengang dengan ucapan kang masnya itu, seakan dia paham apa yang Badar mimpikan tadi malam dan terpikirkan sesaat tadi.

    Choose :
  • OR
  • To comment
No comments:
Write comments